Minggu, 15 Juni 2014

Sadar atau Tidak

Cukup sudah. 3 minggu ini dijadikan waktu untuk mengenal teman baru dan berusaha mengingat nama mereka masing masing. Entah gunanya untuk apa. Mungkin aja ada yang bakal mau nyapa duluan. Gitu batin Wela.

Begitu. Begitu. Begitu terus. 3 minggu Wela bersekolah disini. Telah dicap sebagai siswi yang sah. Sekolahnya saja menyadari keberadaannya. Tapi mengapa dia merasa terabaikan disini ? Dia nggak tahu dan nggak mau ini kejadian lagi kayak pas dia sekolah di sekolahnya dulu. Memang. Dia itu cuek. Tapi orang yang cuek bukan berarti nggak butuh temen buat saling berbagi. Sepertinya mereka ingin aku yang duluan. Batin Wela.

Wela masih ragu. Mau duluan nanti takut dikira sok kenal, sok akrab, dan sok sok lainnya. Dia nggak pernah memulai duluan karena satu hal yaitu takut. Karena takut, kalau ada awal pasti ada akhir. Wela emang gitu, dia orangnya takutan.

Pikiran pesimis sebelum mencoba emang selalu datang ketika ketakutan dan kecemasan telah dipadu padankan jadi satu. Tapi tenang. Wela udah yakinin diri bakal berani hadepin resiko apapun.

Oke. Sekarang dia udah nyobain itu. Wela udah nyoba ngobrol duluan. Tapi entah. Respon yang dikasih malah nggak sesuai dengan apa yang diharepin. Padahal Wela udah kasih senyum ter ter nya. Dia bilang sih senyum termanisnya. Padahal kalo orang yang ngeliat, itu termasuk senyum nantang ngajak brantem. Orang senyum kan, paling nggak ujung bibir itu naik bersamaan. Yang ini nggak. Wela yang naik cuman salah satu ujung bibirnya doang. Gimana kesannya nggak ngajak ribut coba.

Kalo dihitung. Sudah 4 kali dia nyoba, dan responya ? Ya. Begitu terus. Pikir Wela. Dan dalem hati, dia janji. Nggak akan pernah duluan ngajak ngobrol, sebelum ada orang lain yang ngajak dia ngobrol duluan. Oke. Betul banget dia putus asa sekarang. Kok cepet banget nyerahnya ? Ya. Mau gimana lagi. Dia capek. Trus mau salahin siapa juga. Mau salahin orang yang katanya Wela, mereka pada sombong karna nggak kasih sikap yang bersahabat. Gitu ? Kan nggak juga. Oke harus positif. Gitu kata Wela kalo dia lagi ngerasa down. Dan sudah pasti. Caranya dengan nyemangetin diri sendiri.

Dia bukannya nggak jenuh sama semua ini. Tapi. Apa mau dikata. Siapa coba yang nggak jenuh gara gara nggak punya temen padahal udah sekolah berminggu minggu disana. Apa mungkin dia harus terus bertanya tanya dan jawab sendiri kayak orang gila ? Kan nggak segitunya juga. Sekarang jelas banget kan, nggak mungkin dia nggak jenuh.

Dengan intropeksi diri ? Mungkin itu cara tepat. Wela biasanya denger kata itu dari seorang motivator di salah satu acara stasiun televisi. Nggak usah disebut siapa,pasti semua udah pada tau. Nggak mungkin kan Wela bakal terus terpuruk karna nggak tau salah dan kekurangannya apa tanpa mau intropeksi diri.

Dia mulai caritahu. Mungkin kalau masalah pada nada atau penggunaan kata saat Wela ngomong kayaknya nggak ya. Karna menurutnya, sikap yang ditunjukinnya selama ini sudah melebihi kata sopan dan santun. Apa mungkin berkaitan dengan mimik ? Karna kalo sebelum ngomong udah pasti mimik diperhatikan terlebih dahulu. Kita otomatis akan memperhatikan wajah orang terlebih dahulu sebelum orang itu berbicara. Karna, dengan melihat mimik seseorang kita akan tahu, orang itu dalam keadaan dapat diajak ngobrol atau tidak.

Mukanya jelek ? Nggak mungkin. Langsung ia tepis pikiran itu. Karna walau nggak cantik banget, tapi dia terbilang lumayan.

Aha ! Mungkin mata atau cara menatap seseorang ! batin Wela girang didepan cermin kamarnya. Oke, sudah terkendali. Ee. Apalagi ya ? Batin Wela bertanya tanya.

Emm. Apa mungkin senyum ? Batin Wela bingung, lalu mencoba tersenyum didepan cermin.

Dia sangat terkejut. Dan menyesal tak menyadari kekurangan apa yang ada pada dirinya. Senyum ter ter nya sangat tak enak dipandang. Dia saja ngeri apalagi orang lain. Wela terus mematut wajahnya didepan cermin. Sesekali mencoba mengubah senyumnya yang terlihat hambar.


Wela tak sabar hari esok. Wela tak sabar, karena dia siap untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dan mendapat teman yang layak untuk saling berbagi bersama sama.

Kau yang Begitu

Aku menyukaimu karna kau terlihat natural dan terlalu apa adanya. Aku melihatmu dari sikap dan keseharianmu di Sekolah. Selalu dan terlalu pendiam dan kadang terlihat begitu konyol.

Aku menyukaimu karna kau yang terlihat mempesona. Mempesona dalam arti kata begitu karismatik. Kau memang tak tampan apalagi rupawan. Tapi dengan sikap dan keseharianmu itu. Kau dapat membuatku gembira sekaligus geli melihatnya. Aku tahu pasti. Sikap dan keseharianmu yang begitu memang bukan ditunjukkan untukku walau GR itu kadang terasa.

Aku tipe orang yang tidak macam macam.

Sebelumnya. Aku terlalu setia menjadi pendengar keluh kesah seseorang soal cinta. Namun. Sekarang giliran aku yang mulai membuka. Tapi kau dengan seenaknya menutup kembali rapat rapat perasaan ini.

Kau dimataku begitu jauh berubah. Sikap gila mu memang masih ada. Tapi ada satu sikapmu yang bertambah dan itu berhasil membuatku risih melihatnya yakni centil. Apalagi kau begitu pada wanita. Teman sekelas lagi. Padasal aku tahu betul. Kau tahu kalau aku suka padamu.

Entah sengaja agar aku tahu atau tidak. Hampir setiap hari aku mendengar dan melihat kelakuanmu yang seperti itu. Panas dan gerah memang. Apalagi ditambah teriakan riuh dan siul siulan teman sekelas ketika kau mulai menggodanya. Cemburu. Mungkin iya mungkin tidak. Dulu aku menyukaimu. Karena kau yang tak seperti laki laki lain. Bersikap centil dan tak menggoda wanita seperti itu. Tapi. Aku rasa tak apalah. Kau laki laki. Itu wajar.

Perlahan lahan rasa ini menghilang. Kau sekarang berani bercanda bersenda gurau dan bermain bersama teman temanku. Dan tak lagi centil terhadap wanita. Tapi ada yang mengganjal. Kau berani begitu ke orang lain. Bercanda dan mengobrol. Tapi mengapa tidak kepadaku ? Kau tak pernah begitu. Sama sekali tidak.

Sekali saja. Sebut namaku. Panggil namaku. Jangan bilang kau malu ? Kau risih terhadap ku ? Atau kau malah tak tahu sama sekali namaku ? Begitu ?

Diantara begitu banyak spekulasi. Yang mana benar ?

Aku. Aku terlalu capek. Karena hanya perasaanku saja yang menjadi korban. Cukup sudah. Dan ku akhiri sampai disini.